[Review] The Monstrumologist by Rick Yancey – Kisah yang kelam dan ironis

“Berbohong adalah jenis lawakan paling buruk.” – Dr. Pellinore Warthrop


Judul asli: The Monstrumologist
Judul terjemahan: Sang Ahli Monster
Seri: The Monstrumologist
Pengarang: Rick Yance
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan Pertama, September 2016
Tebal buku: 496 halaman
Format: Paperback
Genre: Fantasy, Thriller, Young-Adult
ISBN: 978-602-03-3174-4

Awal mulanya, buku ini pernah masuk ke dalam wishlist-ku. Salah satu alasannya karena iseng yaitu karena ada kata yang berbau: monster. Sepertinya ada banyak atau beberapa buku yang mengandung kata tersebut yang terbit di 2016 lalu. Sebelumnya ada A Monster Calls dan ada pula The Boy Who Drew Monster. Salah satu kesamaan di antara mereka adalah kata tersebut dan nuansa hitam pada kavernya. Jadilah niatan tersebut muncul. Aku ingin mengumpulkan buku-buku tersebut dan membuat mereka bersaudara, haha. Alhamdulillah, dua diantaranya sudah kupunyai. Pun keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu hasil mengikuti YARC tahun lalu. Terimakasih kak Faraziyya. :)

Bicara tentang kaver ketiga buku yang kusebutkan di atas yang bernuansa gelap, The Monstrumologist sedikit menghiasinya dengan darah. Aku telah membaca dan mereview A Monster Calls. Aku beranggapan jika The Monstrumologist mungkin tidak jauh beda. Ada anak kecil berusia 12 tahun di sana. Hiasan darah pada kavernya mungkin masih dalam kadar yang ringan saja. Dan begitulah, aku cukup terkejut. Kisah The Monstrumologist sekelam malam dan sepilu hiasan darah merah segar tersebut.

Pada saat membuka segelnya, di kepalaku sudah muncul pertanyaan: Apa, sih, Monstrumologist itu? Tebakanku memang semacam ahli monster gitu, namun tidak yakin karena belum pernah mendengar sebelumnya (atau mungkin hanya ada di fiksi ini kali, ya, haha). Ditambah, ada kata Anthropophagus di bagian Blurb bukunya. Namun tidak perlu khawatir karena di halaman awal, ada daftar mengenai kedua kata tersebut berikut ‘penjelasan’nya. Dan sedikit bersabarlah di bagian awal buku terlebih jika sudah berkenalan dengan Dr. Pellinore Warthrop. Aku sempat mengerenyit ketika membaca perlakuannya kepada si anak kecil (alias tokoh utama) dan dengan beberapa kebiasaanya yang lain. Ya, jika terus membaca maka kisah akan bergulir dan makin lama akan makin susah untuk berhenti membaca. Buku ini bikin nagih, bikin penasaran. :D

Lebih lanjut, ada prolog yang mengawali kisah novel ini. Di dalam prolog tersebut ada tokoh “Aku” (sepertinya “aku” memang tak bernama atau mungkin diriku yang lupa namanya).Ia diminta oleh kepala panti jompo untuk membaca 13 jilid buku harian Will Henry tersebut. Buku tersebut di temukan di kolong tempat tidurnya saat kamarnya di panti tersebut dibersihkan. Will Henry sendiri saat itu telah dimakamkan. Kepala panti menganggap kisah yang ditulisnya sungguh fiksi. Dan begitu pula si Aku saat membacanya sekilas. Hingga suatu kali (setelah enam bulan bundelan diary itu bersamanya), si Aku mulai membaca tiga jilid pertamanya dan dari situlah kisah tentang si Ahli Monster bergulir. Dan epilog di akhir kisah ini membuat si Aku semakin ragu, apakah memang bundelan diary itu berisi kisah fiksi? Benarkah Monster hanyalah produk imajinasi?

Sulit untuk tidak spoiler tapi baiklah aku akan mencoba untuk sedikit bercerita tentang si Monstrumologist, pelayan kecilnya dan si Monster yaitu Antropophagi. Jadi, kisah itu sepertinya terjadi pada tahun 1800an. Erasmus Gray yang (sedikit) mengetahui profesi Dr. Warthrop (yaitu doctor di satu bidang ilmu pengetahuan) memberikannya sampel yang tak terduga. Ada Anthropophagi yang telah mati karena tercekik saat memangsa mayat wanita yang baru dikuburkan. Dr. Warthrop menjadi bingung dan tertantang karena monster ini rupanya telah beranak pinak dan bisa saja menjadi wabah menghabisi penduduk di sana. Yang jadi permasalahan, mengapa monster yang seharusnya berada di sebuah benua nun jauh di sana (kalau tidak salah, Afrika), bisa sampai ke New England (sepertinya nama lain untuk Amerika, pada masa itu).

Penyelidikan dimulai. Anthropophagi mulai memakan korban. Will Henry dipaksa bergerak dan melakukan pekerjaan yang mengerikan untuk anak 12 tahun (bahkan untuk orang dewasa sekalipun). Ketika dirasa membutuhkan bantuan, sang Ahli Monster mengundang sahabatnya untuk bergabung dengannya: melakukan perburuan monster ini hingga tuntas. Seiring dengan hal tersebut, terkuak pula apa dan siapa yang menyebabkan monster tersebut sampai di sana. Berikut sedikit tentang kematian orangtua Will Henry, dll.

Well, ada dua kata yang sempat melintas di kepalaku setelah berhasil menamatkan The Monstrumologist. Kedua kata tersebut adalah Ironis dan Kelam. Abaikan tentang kekelamannya karena sudah pasti bisa ditebak: ini buku tentang monster dan darah. Mari membahas kata lainnya. Mengapa ironis? Ada beberapa alasan. Salah satunya karena tokoh utama di kisah ini adalah seorang anak kecil berusia 12 tahun. Ya, Will Henry kecil yang ditinggal oleh kedua orangtuanya melalui sebuah peristiwa yang cukup tragis. Selanjutnya ia diasuh oleh Dr. Warthrop. Di dalam buku ini ia mengerjakan sesuatu yang tidak seharusnya dia (atau manusia lainnya) kerjakan. Adapun keironisan lainnya, bisa dilihat melalui pada penggalan berikut:

Perlahan-lahan aku menoleh, dan melihat sosok menjulang itu bangkit seperti Venus buruk rupa dari permukaan berombak, kulit pucatnya penuh pecahan granat serta berlumur darahnya dan darah Malachi, satu lengan hilang sepenuhnya, koyak akibat ledakan, tubuhnya luka parah tapi tekadnya tidak kunjung padam. Dalam ironi yang paling kejam, tubuh Malachi melindunginya dari ledakan. (hal. 439)

Malachi (seorang anak yang agak sedikit lebih tua dari Will Henry) meledakkan dirinya dengan tujuan membalas dendam. Ia ingin membunuh monster yang merenggut hidup keluarganya. Namun ironisnya, monster tersebut malah terlindungi (dari ledakan) oleh badan Malachi sendiri. si Monster masih tetap hidup dan melawan dan menyerang.

Lebih lanjut, bicara tentang tokoh di buku ini, ya, Dr. Warthrop memang menyebalkan. Rasanya sedikit geram ketika ia memperlakukan Will Henry secara berlebihan. Meski di satu sisi ia sebenarnya juga menyayangi anak itu. Tokoh yang kusuka (sejauh ini) adalah si Will Henry. Dia tampak begitu tabah dan mau belajar. Namun ada satu tokoh lainnya yang kusuka. Ini, sih, karena sifatnya dibuat misterius, gitu, deh. Aku penasaran dengan Dr. John Kearns atau John J. J. Schmidt atau apapun nama yang digunakannya. Di akhir kisah, pembaca dibuat penasaran apakah tokoh ini ada hubungannya dengan Jack the Ripper (pembunuh berantai) yang melakukan aksi di Whitecapel. Buku ini pun jadi terasa unik menggelitik.

Ya, aku selesai membaca buku ini pada bulan Juni lalu. Dan memang reviewnya terlambat karena aku suka dengan bukunya dan terkadang itu membuatku bingung untuk menuliskan reviewnya. Jadi, inilah adanya yang dapat kutuliskan, hehe.

Dan, ya, Masih ada beberapa jilid diary Will Henry yang harus dibaca oleh si Aku. Bisa diketahui jika buku ini berseri. Aku menantikan seri keduanya yang berjudul The Curse of the Wendigo. Ah, semoga aku bisa membaca dan mengoleksinya. Dan semoga kisahnya tidak kendor, masih akan tetap sebagus ini atau malah lebih bagus lagi dari seri pertamanya. Adakah yang juga sudah membaca The Monstrumologist? Bagaimana menurut kalian buku ini?

Submitted to:
Read and Review Challenge 2017 kategori Award Winning Books (The Monstrumologist merupakan pemenang Michael L. Printz Honor Award 2010)
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------

Wah, sudah lama tidak mengutip beberapa kalimat manis yang kudapat dari hasil melahap buku. Terakhir aku membuat daftar kutipan untuk buku blabla yang kubaca bulan blabla lalu. Nah, saat menikmati The Monstrumologist, ada beberapa kalimatnya yang menarik hati. Berikut kutian tersebut, selamat menikmati.

“Tidak, Will Henry, musuh kita adalah rasa takut. Rasa takut yang membutakan dan membunuh akal sehat. Rasa takut yang memangsa kebenaran dan meracuni semua bukti, menggiring kita pada asumsi palsu dan kesimpulan tak masuk akal. …” (hal. 43)

“Jangan bohong padaku, Will Henry. Padaku atau pada siapapun—jangan pernah. Berbohong adalah jenis lawakan paling buruk.” (hal. 45)

“Karena orang bodoh menyepelekan apa yang sengaja ditinggalkan oleh orang bijak kepada mereka.” (hal. 60)

Kehilangan keberanian telah membuatku buta akan hal yang sudah terpampang jelas. (hal. 61)

Tapi aku tidak mendebatnya; aku tak punya kata-kata untuk mendebat. (hal. 82)

Kita seringkali melampiaskan dendam pada pengganti yang tak bersalah, mengulangi dosa yang sama pada mereka yang dirasa menyinggung kita, dan dengan demikian mengabadikan rasa sakit yang kita derita di tangan mereka. (hal. 129)

“… berbuat satu kesalahan sama sekali bukan dosa. Salah perhitungan bukanlah kelalaian, dan sikap kehati-hatian juga bukan kejahatan.” (hal. 274)

“Kerendahan hati, Will Henry! Kita hanyalah bagian kecil di alam semesta ini, sama sekali tidak superior, sama sekali tidak seperti malaikat dalam selubung kefanaan yang pura-pura kita tampakkan.” (hal. 317)

“Keceriaan seseorang menandakan bahwa pekerjaannya cocok dengan dirinya.” (hal. 330)

Harus kuakui, perasaanku campur aduk. Aku telah menyaksikan sendiri keganasan monster-monster ini, …. Namun demikian… penderitaan tetaplah penderitaan, tak peduli bagaimanapun sifat makhluk yang mengalaminya, dan makhluk yang satu ini sedang menderita hebat, itu sudah jelas. (hal. 408)

“Barangkali beban yang kau tanggung ini akan terbukti merupakan anugerah.” (hal. 468)

Comments

  1. Untuk Anthrophopagi (plural) itu memang makhluk yang pernah diceritain di mitologi Yunani. Tapi, wujud makhluk tanpa kepala ini deskripsi wujudnya lebih seram daripada gambaran aslinya di mitologi. Ada juga versi lainnya, yaitu Blemmyae, bedanya yang ini agak lebih beradab dan agak cerdas.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe