[Review] Pride and Prejudice and Zombies by Jane Austen dan Seth Grahame-Smith – Kisah klasik berbumbu zombie
Seluruh dunia tahu jika sesosok mayat hidup yang telah mencicipi otak manusia, ia akan menginginkan otak lainnya lagi.
Judul:
Pride
and Prejudice and Zombies
Pengarang:
Jane
Austen and Seth Grahame-Smith
Penerbit:
Imania
Distributor:
Mizan Media Utama
Terbit:
Cetakan pertama, Februari 2013
Tebal
buku: 534 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Classic, Action
ISBN:
978-602-97648-3-3
Sebenarnya aku telah selesai membaca
buku ini sekitar pertengahan Juni lalu. Sebenarnya pula selain buku ini, aku
masih punya hutang (kepada diri sendiri) untuk mengulas beberapa buku lainnya
(The Monstrumologist dan A Carribean Mystery) yang telah selesai kubaca lebih
dulu daripada Pride and Prejudice and Zombies ini. Namun ketika telah 300an
kata menulis tentang The Monstrumologist, ulasan itu menjadi semacam stuck. Gagal atau sulit untuk
dilanjutkan. Alhasil kucoba beralih sejenak mengulas buku ini.
Pride and Prejudice merupakan salah satu
karya terbaik dari penulis wanita klasik bernama Jane Austen. Banyak karyanya
yang telah mampu bertahan hingga saat ini (kira-kira telah mencapai satu abad
lamanya). Dan banyak pula yang telah diadaptasi ke dalam bentuk film.
Aku tidak tahu bagaimana menyebut seri
ini. Apakah ini sejenis pastiche atau
parody atau apa dari Pride and
Prejudice yang Austen buat sebelumnya. Yap, aku masih perlu banyak belajar soal
dunia literasi, hehe. Namun merujuk ke kaver buku, Pride and Prejudice and
Zombies ini merupakan versi plesetan. Seri klasik tersebut dibubuhi zombie oleh
Seth-Grahame-Smith dan voila jadilah
versi ini yang terbit pertama kali pada tahun 2013. Pun telah diadaptasi ke
dalam layar lebar. Ekspektasiku terhadap kisah plesetan ini cukup tinggi
meskipun aku belum pernah membaca versi klasik dari Jane Austen-nya (buku Jane
Austen yang telah selesai kubaca hanya Emma)
ataupun menonton filmnya. Membayangkan drama klasik dibumbui action zombie
sangat menyenangkan dan membuat penasaran.
Kisah di buku ini langsung dibuka dengan
huru hara yang ditimbulkan oleh zombie di daerah Netherfield Park. Kasus
tersebut telah berlalu namun tempat tersebut ternyata telah kembali dihuni oleh
sebuah keluarga terhormat. Di lain tempat (namun masih berdekatan.tetangga) Nyonya
Bennet merasa uring-uringan. Bukan karena serangan zombie namun lebih kepada
nasib kelima putrinya yang belum juga menikah. Dia merasa perkenalan dengan
anggota penghuni Netherfield yang baru dapat membuka jalan bagi putrinya untuk
segera melepaskan masa lajang mereka.
Lain halnya dengan Tuan Bennet, ia lebih
fokus mempersiapkan anak-anaknya untuk bertarung melawan zombie. Dia telah membawa
mereka bahkan hingga ke negeri Cina untuk belajar ilmu bela diri Shaolin. Meski
demikian, dia menyetujui perkenalan kelima putrinya dengan keluarga baru di
Netherfield tersebut. Dua dari pemuda kaya yang baru menempati kawasan tersebut
bernama Tuan Bingley dan Tuan Darcy.
Urusan
terpenting dalam hidup Tuan Bennet adalah menjaga agar putri-putrinya tetap
hidup. Urusan Nyonya Bennet, adalah menikahkan mereka semua. (hal. 10)
Kisah pun bergulir. Seperti khas pada
masa itu, pesta dansa diadakan di Netherfield dan ajang perkenalan pun dimulai.
Tuan Darcy merasa tertarik dengan Elizabeth yang merupakan putri kebanggan Tuan
Bennet. Ia mempunyai skill ilmu bela diri paling baik diantara kelima putrinya
yang lain diikuti dengan sifat yang jauh lebih rasional dan berani dibanding
kakaknya, Jane. Namun baik Lizzy (panggilan untuk Elizabeth) dan Tuan Darcy
sama-sama terlalu angkuh untuk menunjukkan perasaan mereka. Beberapa
kesalahapahaman bergulir dan memenuhi jalan cerita percintaan klasik ini (yang
boleh jadi merupakan khas kisah Jane Austen kali, ya, hehe).
Premis yang ditawarkan oleh buku ini
memang menarik. Zombie memang salah satu alternatif yang terasa segar dan
mengundang rasa penasaran para pembaca fiksi. Ditambah karya klasik sekelas
Jane Austen pula yang ditempeli oleh zombie ini. Meski demikian terkadang ide
boleh jadi brilian namun eksekusinya belum tentu sesuai dengan harapan.
Entah dengan pembaca lainnya, namun aku
merasa tidak terlalu terkesan dengan buku ini. Adegan zombie dan pertarungan
dengan zombie tersebut terkesan semacam tempelan saja. Pun adegan pertarungan
tersebut sering berupa pengulangan semisal mereka bertemu dengan para zombie
itu di tengah jalan. Drama tentang Charlotte yang perlahan berubah menjadi
zombie bahkan menikah dengan Tuan Collins terasa aneh walaupun agak menggelikan
membayangkan tidak ada seorang pun yang menyadarinya selain sahabatnya,
Elizabeth. Padahal dia mulai sulit berbicara. Kata-kata yang Charlotte gunakan
menjadi absurd dan sulit dipahami.
Okelah soal zombie yang semacam tempelan
yang bahkan tidak dijelaskan (seingatku) darimana wabah ini bermula. Dan okelah
tentang si zombie yang dibagian akhir buku diceritakan bisa salah mengira
kembang kol dengan otak manusia. Maksudnya si zombie menyantap kembang kol
dengan begitu lahap karena mengira itu adalah otak. Bagian yang lumayan
membuatku merasa meh. Namun masih ada
satu hal konyol lainnya yang disisipi di buku ini. Hal tersebut berkaitan
dengan ninja.
Yea, ninja yang di Jepang itu. Hal ini
tentang bagaimana Lady Catherine de Bourgh yang merupakan bibi dari Tuan Darcy
menentang keputusan kemenakannya itu untuk menikahi Elizabeth. Lalu diajaknya
Elizabeth berkelahi dengan pasukan ninjanya dan dengan dirinya sendiri (kalau
tidak salah). Elizabeth beraliran shaolin dan Lady Catherine de Bourgh
beraliran ninja. Shaolin vs Ninja? Is
that necessary to put into this story? Hemp.
Aku pernah membaca suatu ungkapan dari seorang
tokoh (yang sayangnya kulupa namanya). Ungkapan tersebut kira-kira seperti ini:
terkadang yang membuat kita kecewa bukanlah orang lain melainkan harapan kita
terhadap orang tersebut (atau bisa kita ganti kata “orang” dengan “situasi”
atau dengan “buku”). Ya, mungkin karena aku memulai membaca Pride and Prejudice
and Zombies dengan ekspektasi yang lumayan tinggi yang akhirnya mengakibatkan
rasa meh yang lumayan tinggi pula
dengan sisipan zombie, shaolin, dan ninja tersebut. Setidaknya aku menyadari
satu hal bahwa Jane Austen memang bukan penulis sembarangan. Karya klasiknya
mampu bertahan dan terus dibaca oleh banyak orang hingga saat ini. Pun jalinan
kisah asli Pride and Prejudice-nya yang lebih menghidupkan jalinan kisah di
buku ini.
Overall,
buku setebal 534 halaman ini memang menawarkan ide yang unik. Pun dilengkapi
dengan ilustrasi yang oke di beberapa bagiannya yang menjadikannya lebih
semarak. Namun jalinan kisahnya terutama yang berkaitan dengan zombie masih
kurang kuat dan tidak terlalu asik. Oh ya ada beberapa bagian terjemahannya
yang membuat bingung hanya saja aku tidak bisa menyebutkan yang mana karena
rentang antara selesai membaca buku ini dengan menuliskan review-nya lumayan
jauh. Silakan koleksi dan baca jika kalian penasaran. Kalau aku, mungkin kalau
ada kesempatan mau mencoba menonton versi filmnya. Selamat membaca buku,
teman-teman.
Rating:
(2/3) it was ok
Submitted
to:
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------
Yaiy! Selesai sudah ulasan tentang Pride
and Prejudice and Zombies. Syukurlah akhirnya terselesaikan walaupun rentang
waktu antara membaca dan mereviewnya lumayan jauh. Seperti biasa di bagian ini
akan kutampilkan beberapa kutipan manis yang kutemukan dari buku. Biasanya dari
buku klasik aku bisa menemukan banyak kutipan. Kali ini aku hanya menemukan
tiga. Dan jika menyinggung bukunya, aku kurang terlalu puas dengan versi
plesetan ini. Okelah, lebih baik langsung ke kutipan tadi, ya. silakan
dinikmati. :D
“Ya,
Tuan, saya tahu hal itu. Bila saya pergi berkeliling dunia, saya tidak akan
bertemu yang lebih baik. Tapi saya selalu mengamati bahwa mereka yang baik
sewaktu kanak-kanak adalah orang yang nantinya akan berhati baik juga ketika
dewasa. Dan tuanku selalu memiliki perilaku paling manis, anak paling baik hati
di seluruh dunia.” (hal. 351)
Cara
Nona Bingley mengejek Elizabeth memang bukan cara yang bijaksana untuk
mengenalkan diri sendiri kepada Darcy, tapi orang yang sedang marah memang
tidak bijaksana. (hal. 380)
“Walaupun
ini kejadian menyedihkan untuk Lydia, kita harus bisa mengambil kesimpulan dari
pelajaran berharga ini: bahwa harga diri perempuan demikian mudah direnggut
seperti sebuah baju saja. Bahwa satu salah langkah dapat menyebabkan kerusakan
tak berkesudahan. Bahwa satu-satunya obat untuk kehormatan yang terluka adalah
darah si pembuat keonaran.” (hal. 401)
Comments
Post a Comment