[Review] Emma by Jane Austen – Drama percintaan klasik
Dia merasa geli, mengapa orang-orang yang merasa dirinya bijak, sering membuat kesalahan-kesalahan dalam menilai orang lain. - Emma
Judul:
Emma
Pengarang:
Jane
Austen
Penerbit:
Shira Media
Terbit:
Cetakan I – Januari, 2015
Tebal
buku: 224 halaman
Format:
Paperback
Genre:
Romans, Drama
ISBN:
978-602-1142-29-5
Emma yang baru saja selesai kubaca ini
sepertinya merupakan simplified version.
Penerbit Qanita pernah menerbitkan Emma versi lengkap hingga 700an halaman.
Wah, sudah lama sekali aku tidak membaca buku ‘bantal’ dengan ketebalan
melebihi 500an halaman. Dari beberapa review
tentang Emma yang versi lengkap, ada bagian-bagian yang membuat mereka bosan dan alurnya pun lambat. Wajar, klasik. Membaca yang simplified version ini sudah lumayan memuaskan meski aku
mau saja mengoleksi dan membaca yang versi lengkapnya, hehe.
Jane Austen terkenal melalui karyanya
yang hingga sekarang masih dicetak, diterjemahkan dan dibaca banyak orang.
Karyanya yang lain (dan terkenal) antara lain Pride and Prejudice serta Sense and Sensibility. Aku tidak
menyangka jika Jane lahir di tahun 1700an. Aku pikir sekitar 1900an. Sungguh
mengagumkan karyanya mampu bertahan bahkan hingga ia sudah tiada. Tidak heran
jika kisahnya memang benar-benar klasik. Benar-benar membuat kita masuk ke
dunia yang berbeda mengingat sudah banyak sekali perbedaan dengan dunia saat
ini. Meskipun Emma dikatakan bukan karya terbaiknya, aku cukup terhibur. Dan
aku harap perkenalan dengan Jane Austen bisa terus berlanjut.
Emma berkisah tentang seorang
gadis yang berasal dari keluarga kaya. Dia cerdas dan baik hati. Sepertinya di masa itu kental sekali dengan perbedaan derajat. Dia bergaul
dengan banyak orang (termasuk yang tidak sederajat). Dia menyayangi sahabatnya
Harriet. Dan dari situlah konflik bermula, konflik seputar percintaan tentunya.
Emma bersikeras meminta Harriet menolak
lamaran dari petani sederhana bernama Robert Martin dan menjodohkan gadis itu dengan
Tuan Elton. Emma mengira Elton cocok mengingat dia memiliki kelas sosial yang
lebih baik daripada Robert. Namun Emma tidak memahami budi pekerti yang Robert
miliki dan sifat asli dari Elton yang jelas menolak Harriet karena
menganggap gadis itu tidak sederajat dengannya. Terlebih Elton bersikap manis
karena dia menyukai Emma dan bukan Harriet. Selanjutnya muncullah beberapa pria
dan wanita lainnya seperti Frank Churchill, Jane Fairfax dan George Knightley yang
ikut meramaikan kisah cinta itu dalam bentuk kesalahpahaman lainnya.
Aku tidak tahu apakah ini khas Jane
Austen atau tidak, namun tokoh di buku ini lumayan banyak. Sepertinya semua
orang di desa Highbury masuk ke dalam cerita. Aku sampai bingung mengingatnya, terlebih karena ini klasik dan mereka tidak langsung menyebut nama depan
melainkan nama belakang. Ada lembar mengenai daftar tokoh di bagian depan buku.
Namun aku tidak terlalu memanfaatkannya. Lambat laun aku akhirnya larut dalam kisah
Emma dan dapat mengingat tokoh yang ada di cerita serta menikmati tutur bahasa yang
berputar dan penuh tata karma tersebut. Salut untuk penterjemah buku klasik.
Membaca terjemahannya sudah suatu tantangan sehingga tidak terbayangkan seperti
apa rupa kisahnya dalam bahasa aslinya, haha.
Alur kisahnya bergerak maju dan terlepas
dari temponya yang lambat serta lumayan bisa tertebak, menurutku Jane tahu
benar apa yang ditulisnya. Rasanya tidak ada yang ‘bolong’ dari kisah Emma dan
tidak ada yang terlalu dipaksakan. Pun para tokoh di dalamnya memiliki karakter
sendiri yang khas. Seperti Pak Woodhouse yang terlalu sering khawatir atau John
Knightley yang sering uring-uringan, Harriet yang sederhana dan berpikir apa
adanya, serta George Knightley yang tegas dan pandai menilai orang lain, dst.
Cara Jane menggambarkan para tokohnya itu yang memang terasa berbeda. Ya,
kembali lagi mungkin karena beda jaman.
Tuan
John Knightley adalah seorang pengacara yang berhasil dan seorang suami yang
baik. Dia jangkung dan tahu benar sopan-santun, tetapi dia kadang-kadang
bersikap tak sabaran. Karena istrinya sangat memujanya, maka tidaklah ada
kemungkinan sifat buruknya itu akan berubah. (hal. 33)
Aku terkesan dengan
tutur kata dan nilai kesopanan dalam buku ini. Ada beberapa hal baru yang kuketahui, misalnya pada masa itu ada kelas sosial yang lumayan kentara, namun mereka
memiliki sopan-santun sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Ada juga tentang
anggapan wanita yang bekerja adalah wanita yang malang. Lalu sekelumit tentang aturan
dalam pesta dansa, juga tentang bagaimana masyarakatnya memperlakukan pengantin
baru, dsb.
“dia
sangat pintar dan cantik. Dia telah mendapatkan pendidikan yang baik, dan dia
tinggal di rumah keluarga Kolonel Campbell sebagai orang yang sederajat; tapi
tak lama lagi dia akan harus bekerja mencari nafkah. Saya benar-benar kasihan
padanya!” (hal. 63)
Secara keseluruhan, meski melalui Emma, perkenalanku dengan Jane Auten tidak terasa buruk. Aku menyukai caranya
berkisah. Romance yang ditampilkan di
buku ini tidak berlebihan. Jalan ceritanya menarik meski bisa ditebak ending-nya. Setidaknya Jane membuat
proses menuju ending tersebut dengan
baik. Masih ada beberapa typo namun
versi singkat dari Emma ini layak untuk dinikmati. Dan sehabis ini aku mau
membaca Murder on the Orient Express
karya Agatha Christie. Lagi-lagi klasik. Apa sebenarnya aku termasuk penyuka
klasik, ya? Haha, entahlah. Semoga selanjutnya bisa membaca karya Jane yang
lainnya.
Rating: (3/3) liked it
Submitted to:
----------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------
Baiklah pembaca semua, review Emma sudah
selesai. Tidak banyak kutipan menarik yang kutemukan meski ini karya klasik.
Mungkin karena aku membaca versi singkatnya. Seperti biasa, kutipan
tersebut sudah kubuat daftarnya. Silakan menikmati. Dan selamat membaca buku, fellas.
Lalu
Emma berjalan terus. Dia merasa geli, mengapa orang-orang yang merasa dirinya
bijak, sering membuat kesalahan-kesalahan dalam menilai orang lain. (hal. 40)
Pak
Woodhouse merasa bahwa kalau suatu persoalan dapat ditunda, maka besar
kemungkinannya akan gagal sama sekali. (hal. 122)
“Kalau
Anda sudah pergi dari rumah, seperti saya, Nona Woodhouse, Anda akan maklum
betapa senangnya bila bertemu dengan sesuatu yang ada persamaannya sedikit saja
dengan tempat yang telah kita tinggalkan.” (hal. 141)
“Ah,
tapi Nona Woodhouse, banyak sekali yang bisa dibuat oleh seseorang yang berani
bertindak. Kita tidak perlu takut. Kalau kita sudah mengambil langkah pertama,
yang lain akan menyusul; kita bisa berbuat apa yang tak bisa dilakukan orang
lain. …” (hal. 149)
Aku pernah baca buku ini, zaman kuliah tapi :D. Bukunya kalo ga salah ada di perpustakaan rumah papa. Jane Austin termasuk penulis fav ku sih mba. Pride and prejudice aku juga pernah baca. Sbnrnya aku memang LBH seneng baca tulisan2 klasik. Kayak gone with the wind, Scarlett, ato buku2nya Charles Dickens, itu aku juga suka. Juga buku2nya Laura ingals Wilder :D. Buku2 klasik gini itu seru juga alurnya. Walo mungkin ga terlalu didramatisir kyak novel zaman skr :D.
ReplyDeleteIya, klasik itu punya cita rasa sendiri. Salah satu yang kusuka dari kisah-kisah klasik itu suasananya yang beda banget dari masa sekarang. Jadi merasa fresh gitu kalau diantara bahan bacaan, ada yang klasik. Kalau baca ulang review ini, aku jadi merasa sok tahu banget soal bacaan klasik padahal belum banyak buku klasik yang dibaca. Mba Fanny sebagai pecinta klasik harap maklum ya, namanya proses, hehe. Btw, yang Pride &Prejudice, aku baca yang versi parodinya mba. Kapan nanti kepengen baca yang versi aslinya. :D
DeleteJadi ingat masa kuliah dulu.. pak dosen ngajak bahas karakterisasi dalam cerita ini..
ReplyDelete