[Review] A Monster Calls by Patrick Ness – Ketika Monster Berkisah

Sang monster muncul persis lewat tengah malam. Seperti monster-monster lainnya.

gambar diambil di sini

Judul asli: A Monster Calls
Judul terjemahan: Panggilan Sang Monster
Pengarang: Patrick Ness
Ide cerita: Siobhan Dawd
Ilustrator: Jim Kay
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret, 2016
Tebal buku: 216 halaman
Format: Paperback
Genre: Fantasy; Young Adult;
ISBN: 978-602-03-2081-6

Biasanya, ketika mulai membaca buku baru, aku akan langsung mulai dari halaman pertama kisah tersebut dimulai. Jarang sekali aku mulai dengan membaca pendahuluan atau apapun itu yang mengawali kisah di sebuah buku kecuali jika itu memang diperlukan atau aku sudah mengetahui (dari review tentang buku tersebut) kalau tulisan tambahan itu penting. Namun, kali ini aku tidak melewatkan lembar catatan penulis yang berada di halaman depan. Aku sedikit tertegun dan tanpa sadar jatuh ke dalam kata-kata yang terangkai pada lembar tersebut.

Dari catatan penulis itu aku tahu jika buku ini memang ditulis oleh Patrick Ness namun idenya berasal dari Siobhan Dawd dan dilengkapi oleh ilustrasi menarik dari Jim Kay. Pengalaman membacaku mungkin memang belum seberapa. Baru itulah aku mengenal nama Siobhan Dawd dan dari kata-kata yang Ness tuliskan di lembar tersebut, terasa menyentuh dan membuatku tertarik untuk membaca karya Siobhan Dawd. Yap, jika seorang Patrick Ness memberi saran untuk membaca bukunya, maka kenapa tidak?

Sayangnya yang tidak ia miliki adalah waktu
Inilah yang aku dan Siobhan hasilkan. Jadi pergilah. Bawa lari. Buatlah kekacauan.

Ilustrasi yang melengkapi buku ini boleh jadi menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Gramedia pun mengemasnya dengan apik. Kertas yang digunakan tebal dan putih sehingga daya tariknya menjadi lebih maksimal. Pun begitu dengan ilustrasi yang ditorehkan oleh Jim Kay. Aku menyukainya. Begitu liar. Aku pun jadi berpikir: meskipun ini dongeng dan tentang seorang anak, buku ini bukan untuk anak-anak.

Karakter utama di buku ini adalah Conor O’Malley. Dia tidak populer di sekolah dan tinggal bersama Ibunya yang sakit. Karakternya terasa gelap dan hidupnya terasa begitu rumit, meskipun ia digambarkan dalam wujud seorang anak yang masih perlu bimbingan dan tanggungan orang dewasa. Bahkan menurutku, karakternya lebih gelap daripada si Monster itu sendiri, hehe.

Yap, Connor bisa dikatakan memiliki jiwa yang masih labil, bahkan ada adegan dia menjadi meledak-ledak dan tidak terkendali. Meskipun begitu, dia sebenarnya juga cukup cerdas untuk memahami situasi atau keadaan tertentu. Aku suka analisis sederhananya ketika ibunya mengajaknya untuk melakukan “pembicaraan kecil” (hal.34). Pun aku juga suka interaksi dan pembicaraannya dengan sang Monster. Rasanya memang benar, ada sesuatu yang lebih menakutkan daripada sosok makhluk seram yang bisa kita sebut sebagai Monster. Dan setiap manusia mempunyai perspektif yang berbeda-beda mengenai “monster lain” yang  mereka takuti.

Lanjut cerita, ada sebuah mimpi buruk yang terus mengganggu Connor yang akhirnya membuat sang Monster datang mengunjunginya. Monster jelmaan dari pohon Yew tersebut kerap mendatanginya tepat pukul 00.07. Monster tersebut bangkit dan berjalan dari pemakaman di atas bukit di dekat rumahnya. Pada kedatangannya menemui anak tersebut, sang Monster menceritakan tiga kisah tentang orang-orang yang pernah di datanginya. Setelah tuntas menyelesaikan tiga kisah tersebut, Connor harus balik bercerita, kisah keempat. Hayo, penasaran apa yang diceritakan si Monster? Dan kisah apa yang harus Connor ceritakan? Silakan langsung baca bukunya atau tonton filmnya. Dikabarkan bahwa tahun ini (2016) rilis film yang diadaptasi dari buku ini. :D

Hmm, apa lagi yang bisa kukatakan mengenai A Monster Calls? Oh, ya, ada sesuatu yang membuatku cukup penasaran dengan penulisan di buku ini. Maksunya, aku menemukan banyak kata yang dicetak tebal yang bertebaran dari awal hingga akhir buku. Dan kebanyakan kata yang dicetak tebal tersebut adalah dialog sang Monster. Aku tidak tahu pasti alasannya. Mungkin ini terkait dengan penerjemahannya.

Bukan sembarang kebenaran. Kebenaranmu. (hal.46)
Atau lebih tepatnya menjadi lebih getir, karena dia memang orang yang tidak menyenangkan. (hal. 114)
(Wajah sang monster berubah kelam. Kau berani meragukan aku, Bocah?) (hal.115)

Okelah, sepertinya kucukupkan dulu review kali ini. Tentunya terimakasih untuk Kak Faraziyya (Faraziyya's Bookshelf). Aku mendapatkan A Monster Calls darinya. Saat itu, review-ku tentang The Graveyard Book terpilih sebagai review bulanan di Young Adult Reading Challenge yang dihost oleh Kak Faraziyya. Dan maaf-keun kakak, buku ini baru bisa ku-eksekusi meski sudah mendarat dengan mulus semenjak April lalu. Ada saja kesibukan ini itu. Benar-benar sulit membagi waktu hingga kalender aktivitas blogging-ku menjadi benar-benar kacau balau *malah curhat*. But, again, thank you so much, Kakak.

Rating: (3/5) liked it

Submitted to:
----------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------

Butuh waktu yang panjaaang untuk menamatkan buku dengan tebal 216 halaman ini. Benar-benar diluar kebiasaan. Eits, tunggu, ini bukan karena kualitas kisahnya. Ini murni karena diriku yang waktunya tersita untuk kesibukan lain sehingga intensitas baca dan tulisku menjadi terhambat. Kesibukan yang benar-benar sesuatu! Haha, dan bahasaku pun menjadi kacau seperti ini. Sudahlah. Daripada aku terus-terusan curhat, lebih baik langsung kutampilkan beberapa quote manis yang kutemukan di buku ini. Dan seperti biasa, karena jumlahnya tidak lebih dari 10, maka kugabung dengan postingan reviewnya. Yuk, mari kita lihat! Have a nice day, anyway, fellas. :D

Betapa kerasnya mereka tertawa, betapa tampaknya taka da yang mustahil di dalam hidup ini, dan betapa sesuatu yang baik bisa terjadi pada mereka saat itu juga dan mereka bahkan tidak akan terkejut. (hal. 34)

“Memang itulah yang selalu ingin dilakukan monster. Bicara.” (hal.39)

Siapa yang bisa bilang bahwa bukan segala hal lain-lah yang sebenarnya merupakan mimpi? (hal. 41)

Kisah adalah sesuatu yang paling liar, derum sang monster. Kisah itu mengejar, menggigit, dan memburu. (hal. 45)
Kadang-kadang orang merasa paling perlu berbohong kepada diri sendiri. (hal.72)

Tidak melulu ada pihak yang baik. Sama halnya bahwa tidak melulu ada pihak yang jahat. Sebagian besar orang berada di tengah-tengahnya. (hal.74)

Keyakinan adalah separuh dari penyembuhan. Keyakinan dalam pengobatan, keyakinan akan masa depan yang menanti. Dan disinilah pria yang hidup berdasarkan keyakinannya tapi malah mengorbankannya begitu mengalami tantangan pertama, tepat disaat dia paling membutuhkannya. (hal. 119)

Comments

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe