[Review] The Graveyard Book by Neil Gaiman – Pemakaman yang tidak menyeramkan

“Ke mana pun kau pergi, kau selalu membawa serta dirimu sendiri. Kalau kau mengerti maksudku." - Silas

sumber

Judul asli: The Graveyard Book
Judul terjemahan: Cerita dari Pemakaman
Pengarang: Neil Gaiman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret, 2013
Tebal buku: 351 halaman
Format: Paperback
Genre: Fantasy; Young Adult
ISBN: 978-979-22-9460-6

Ini adalah buku kedua Neil Gaiman yang telah selesai kubaca. Sebelumnya aku membaca karangannya yang berjudul Stardust atau jika diterjemahkan menjadi Serbuk Bintang. Sama halnya dengan Stardust, bukunya kali ini juga bergere fantasi. Agaknya yang membuat beda, selain dari isi cerita tentu para karakter di dalamnya. Jika di Stardust, Neil memakai karakter dewasa dan disisipi pula dengan adegan dewasa di dalamnya, di The Graveyard Book, dia memakai karakter seorang anak yang tumbuh dari bayi hingga usianya mencapai belasan tahun. Dan satu hal yang menarik, jika Stardust bermain dengan peri, kali ini dia bermain dengan hantu.

Nobody Owens, seorang anak manusia dengan nama yang tidak lumrah dan memiliki kehidupan yang tidak lumrah pula. Dia hidup, tumbuh dan dibesarkan oleh para hantu yang bersemayam di sebuah pemakaman tua di kota bernama Old Town. Bod-nama panggilannya juga malah memiliki orangtua angkat dari pasangan hantu bernama Mr. Dan Mrs. Owens. Selain itu dia juga mempunyai wali yang bernama Silas. Bukan, bukan, Silas bukan hantu seperti orangtua angkatnya. Walinya ini adalah makhluk yang tidak hidup namun tidak juga mati. Hayo, adakah yang tahu Silas ini makhluk apa? :))

Mungkin yang menjadi pertannyaan adalah mengapa Owens bisa tumbuh bersama para hantu? Dimana dan siapa orangtua kandungnya? Para hantu dan Silas sepakat bahwa Bod harus dilindungi dari dunia luar. Bahkan dia tidak boleh keluar dari areal pemakaman. Mereka mempunyai alasan yang kuat hingga memutuskan hal tersebut. Mereka berusaha melindungi Bod dari seorang pria bernama Jack, yang sewaktu Bod bayi, telah membunuh seluruh keluarga Bod. Dan dikarenakan Bod tinggal di pemakaman bersama mereka yang tak lagi hidup, Bod memiliki kekuatan khusus. Dia bisa melihat dengan jelas di dalam gelap dan juga memudar di hadapan orang lain. Bod menyukai bertualang di areal pemakaman. Akan tetapi, Bod tetaplah orang hidup. Dia anak yang cerdas dan mempunyai rasa keingintahuan yang besar terhadap dunia. Apakah para hantu akan mengizinkan Bod keluar dari wilayah mereka? Dan yang lebih penting, apakah Jack sudah berhenti mengejar Bod?

Ada dua hal menarik yang kucermati dari kisah di buku ini. Pertama, mengenai konsep pemakaman. Sebelum mulai membaca buku ini, aku sudah mendapat gambaran tentang pemakaman di negeri barat sana. Dari beberapa film yang kutonton, pemakaman di sana tampak berjejer rapi. Mereka memberi batas yang jelas antara makam dan tempat untuk berjalan kaki. Ada pualam putih yang dipahat menjadi patung-patung malaikat. Rerumputan yang dipangkas pendek pun tampak hijau segar. Sehingga kupikir, Bod yang notabene adalah anak kecil, memang bisa tinggal di sana.

Nah, konsep pemakaman yang di buku ini menjadi menarik karena rupanya pemakaman yang ditinggali Bod bukanlah pemakaman masa kini melainkan pemakaman tua. Batu-batu nisan di sana bertuliskan tahun 1800-an bahkan ada yang 1600-an. Dan pemakaman ini kembali menjadi semakin menarik karena dijadikan cagar alam. Kawasan ini dilindungi dimana hewan-hewan seperti kelinci, rubah dan tupai bebas berkeliaran. Disediakan pula bangku-bangku untuk pengunjung yang datang ataupun para peneliti makam. Bahkan ada anak (bukan Bod) yang dibiarkan bermain-main diantara makam tersebut.

Pada hari-hari ketika hujan tidak turun, salah satu orangtuanya pasti mengajaknya ke pemakaman. Ayah atau Ibunya akan duduk di bangku dan membaca, sementara Scarlett berkeliaran menjauh dari jalan setapak, percikan warna hijau atau oranye atau merah muda menyala, dan menjelajah. (hal. 55)

Scarlett mengangguk. “Aku membantu Mr. Frost menggosok batu-batu nisan setelah sekolah. …. Dia hanya bilang dia juga suka duduk-duduk di pemakaman, dan merasa pemakaman itu bisa menjadi tempat paling tentram di dunia.” (hal. 270).

Tidak bisa kutahan, aku membandingkan konsep pemakaman di sana dengan yang ada di Indonesia. Jika di Indonesia, boleh jadi makam-makam tersebut tidak akan se”ramah” pemakaman di buku ini. Makam-makam tua cenderung dianggap makam angker. Pengunjungnya adalah orang-orang tertentu dengan tujuan tertentu dan biasanya bukan anak-anak. Jika ada anak-anak yang main di makam apalagi makam yang sudah ada sejak ratusan tahun, maka para orangtua akan menjadi ketakutan dan khawatir. Aku pun mungkin akan begitu juga jika itu terjadi kepada anak-anakku, haha. Ya, mungkin pola pikir, budaya, tradisi, dan faktor lainnya memegang peranan dalam menciptakan perbedaan konsep ini.

Beralih dari konsep pemakaman, hal lainnya yang menarik adalah tentang buku. Memang judul buku ini adalah The Graveyard Book. Ada kata “buku” di situ. Namun, yang menjadikannya menarik ada dalam jalinan kisahnya, Bod merupakan anak yang gemar membaca buku. Dia senang menghabiskan waktu ketika bisa bersekolah dengan berada di perpustakaan. Bahkan ada satu ilustrasi yang menggambarkan Bod sedang membaca buku di dalam novel ini. Ya, mungkin dia mencoba membendung rasa ingin tahunya akan dunia dengan membaca buku. Sepertinya, tidak masalah jika anak-anak usia sekolah ikut menikmati kisah di dalam The Graveyard Book ini. Neil menyisipkan pesan untuk gemar membaca buku melalui kisah ini dengan manis. Semoga anak-anak yang membaca buku ini menjadi terinspirasi.

Dia melewatkan kebanyakan waktu luangnya di belakang kelas Bahasa Inggris, tempat rak-rak berisi buku-buku tua berada, dan di perpustakaan sekolah, ruangan besar penuh buku dan kursi malas tua, tempat dia membaca berbagai cerita dengan sama bersemangatnya dengan sebagian anak melahap makanan. (hal. 209)

Nobody 0wens adalah nama karakter yang unik. Nama dan gambar sampul The Graveyard Book adalah dua hal pertama yang mencuri perhatianku. Benar-benar eye catching. Kertas yang digunakan juga bukan kertas buram dan buku ini dilengkapi dengan bookmark. Yang menjadikannya lebih menarik adalah buku ini dilengkapi dengan ilustrasi hitam putih. Tidak di setiap halamannya tapi ilustrasinya cukup banyak.  

Overall, aku menyukai buku ini. Mulai dari packaging hingga jalinan kisah di dalamnya. Satu-satunya hal yang agak membingungkanku ada di bagian awal buku. Diceritakan Bod yang masih bayi bisa mendaki bukit kecil. Dia menembus malam yang dingin dari rumahnya menuju pemakaman. Ini agak sulit untuk dibayangkan. Ya, bagian awal buku memang sedikit “melelahkan”.

Kemudian, mulanya dengan agak ragu, kemudian dengan kecepatan dan keyakinan yang semakin kuat, anak itu pun berjalan terhuyung-huyung mendaki bukit. (hal. 20)

Tapi kusarankan agar terus baca. Cerita akan membaik dan terus membaik setelah Bod makan pisang, Silas diberi adegan lebih banyak, dan seterusnya. Dan meski ada kata pemakaman di sini, buku ini sama sekali tidak menakutkan. Malah para hantu penghuninya bersahabat dan kekeluargaan sekali. Yuk, ikutan baca. :)

Rating: (3/5) liked it

Submitted to:

----------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------

The Graveyard Book memiliki kisah yang ringan, mudah dicerna namun juga menarik. Aku betah membaca buku ini meski sulit di bagian awalnya. Ada pesan mengenai kasih sayang, keluarga hingga kegemaran membaca buku. Goodreads menggolongkan buku ini ke dalam Young Adult. Buku ini memang aman dibaca oleh anak-anak. Lebih lanjut, aku tidak menemukan banyak quotes dari The Graveyard Book ini. Oleh karenya aku tidak perlu membuat postingan baru. Akan kukumpulkan quotes-nya di sini. Terimakasih sudah membaca hingga ke baris ini. Selamat menikmati quotes-nya. :D

Apa yang dianggap harta karun sepuluh ribu tahun lalu belum tentu dianggap harta karun hari ini. (hal 71)

“Itu buruk. Dan kau merasa puas dengan kebebalan itu, lebih buruk lagi.” (hal. 87)

Mr. Owens punya ungkapan khas untuk dua hal yang baginya sama-sama tidak mengenakkan: “Aku berada di antara Iblis dan Samudra Biru yang Dalam,” begitu dia sering berkata. (hal. 109)

“Ke mana pun kau pergi, kau selalu membawa serta dirimu sendiri. Kalau kau mengerti maksudku.” (hal. 124)

“Segala sesuatu mekar pada waktunya masing-masing. Mereka menguncup dan mekar, mekar, dan memudar. Segala sesuatu sesuai dengan waktunya.” (hal. 171)

“Segala sesuatu ada waktunya.” (hal. 175)

“Seperti kubilang,” kata Mr. Dandy, tanpa emosi. “Waktu terus berdetik.” (hal. 197)

“Satu kali berarti kekeliruan, Jack. Dua kali berarti bencana.” (hal. 297)

Comments

Popular posts from this blog

7 Alasan Memilih dan Membeli Buku Bacaan

[Review] The Silmarillion by J.R.R Tolkien – Sebuah riwayat yang panjang

[Review] Cewek Paling Badung di Sekolah by Enid Blyton – Asal mula Elizabeth dikirim ke Whyteleafe