[Review] Lord Edgware Dies by Agatha Christie – Ketika si Pura-pura terdiam melihat si Mati berbicara
“Si mati angkat bicara. Ya, memang
kadang-kadang orang yang sudah mati pun bisa bicara.” - Poirot
gambar diambil dari sini |
Judul: Matinya Lord Edgware
Judul Asli: Lord
Edgware Dies
Seri: Hercule Poirot #9
Seri: Hercule Poirot #9
Pengarang: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun terbit:
Agustus, 2007 (Cetakkan ketujuh)
Tebal buku: 336
halaman
ISBN-13:
978-979-22-2885-4
Suatu malam
aku membuka segel buku ini. Wanginya segera merebak dan menimbulkan sensasi
tersendiri yang merayap langsung ke suatu bagian di otak yang aku tak tahu apa
namanya. Sensasi menyenangkan dan diliputi rasa penasaran yang lumayan
mengasikan. Ini kali kedua aku membaca kisah Poirot karangan Agatha Christie.
Dan tampilan di buku ini cukup berbeda dengan seri yang kubaca sebelumnya
(Hallowe’en Party).
Tidak
seperti Hallowe’en Party, seri kali ini tidak dibuka dengan perkenalan para
tokoh. Haha, aku jadi mempertanyakan hipotesaku yang sempat kutuliskan di
resensi sebelumnya. Namun lebih dari itu, aku penasaran, apakah memang seperti
ini yang seharusnya? Mengapa ada yang dilengkapi dengan “susunan tokoh-tokoh”
dan ada yang tidak? Terlebih, apakah "susunan tokoh-tokoh" itu wajib ada? Hehe.
Hal ini
agaknya menggiringku ke hipotesa baru, haha. Setelah aku cermati, di seri kali
ini, Agatha tidak menjadi narator seperti halnya di Hallowe’en Party. Di seri
ini, Agatha bercerita melalui sudut pandang seorang Hastings. Jadi seolah-olah
Hastings yang menuliskan buku ini. Hastings sendiri sepertinya teman dekat
Poirot. Dia mendampingi Poirot selama memecahkan kasus ini. Hampir mirip
dengan Watson-nya Holmes.
Jadi
hipotesa baru tersebut adalah ketika Agatha menjadi narator, maka dia akan
menggunakan dua atau tiga halaman pertama untuk membuat daftar tokoh-tokoh yang
terlibat di dalam cerita tersebut. Sementara ketika dia memakai sudut pandang
“aku”, maka tidak akan ada susunan tokoh-tokoh yang akan ditampilkan di cerita
tersebut. Haha, baiklah, ini hanya sekedar ide isengku. Dan tentu saja aku akan
mengecek hipotesa ini di serial Poirot lainnya. Kebetulan aku masih punya satu
judul lagi yang bahkan masih belum kubuka segelnya. Mungkin seri yang satu itu
(N or M ?) bisa menjadi penengah, lol.
Baiklah
secara ringkasnya, seri kali ini mengisahkan tentang perceraian antara Lord
Edgware yang kaya dan mempunyai selera yang “aneh” serta “kaku” dengan isteri
keduanya yang seorang artis terkenal bernama Jane Wilkinson. Jane sendiri
adalah tipe wanita egois yang sering bicara blak-blakan. Bahkan dia bicara di
depan banyak orang bahwa dia ingin menghabisi nyawa suaminya.
Ya, dia
ingin sekali bercerai dengan Lord Edgware agar bisa menikah dengan Duke of
Merton. Namun Lord Edgware tidak pernah suka atau menyetujuinya. Jane lalu meminta
agar Poirot bertemu dengan Lord Edgware untuk membicarakan soal perceraiannya
tersebut. Jane berasumsi bahwa jika seorang Poirot yang membujuknya, Lord akan mau
menceraikannya. Tanpa disangka, Poirot dapat bertemu dengan Lord Edgware sehari
lebih awal dari seharusnya. Dan tepat di hari itu juga, lebih tepatnya di malam
harinya, Lord Edgware tewas terbunuh.
Kecurigaan
mengarah ke Jane Wilkinson karena ada seorang saksi yang menyatakan melihat
Jane menemui Lord malam itu setelah makan malam. Jane dalam balutan pakaian
serba hitam memasuki perpustakaan dimana Lord Edgware biasa menghabiskan
waktunya. Namun kesaksian tersebut terbantahkan karena ada lebih banyak saksi
lagi yang melihat bahkan berbicara dengan Jane di pesta makan malam di daerah
Chipswick. Bagaimana bisa ada dua Jane di waktu yang sama namun lokasi yang
berbeda?
Hastings
terus bersama Poirot dalam memecahkan kasus ini setahap demi setahap.
Melaluinya aku sedikit lebih mengenal Poirot. Selain suka memperhatikan penampilannya,
Poirot juga suka sekali dengan kumisnya. Haha, sayangnya aku lupa di halaman
berapa dan bagaimana bunyi kutipan yang menandakan bahwa Poirot amat bangga
dengan kumisnya tersebut.
Hal menarik
lainnya, yang juga lupa kuingat berada entah di halaman berapa, adalah tentang
sel-sel kelabu kecil. Poirot sangat suka berceloteh mengenai sel-sel kelabu
kecil di otaknya yang membantunya dalam memecahkan kasus dan misteri. Aku pun
mencoba googling, dan haha, maaf, masih belum mengerti sepenuhnya tentang
materi kelabu di otak tersebut. :D
Satu hal
yang juga aku amati dari serial Poirot ini adalah tentang kesukaannya terhadap
psikologi. Entah mungkin karena aku pun cukup suka dengan hal yang berbau
seperti ini, maka aku menemukan hal ini sebagai hal yang menarik. Dan
sepertinya Agatha juga mempunyai ketertarikan dengan bidang ini. Di serial ini
ada beberapa kutipan yang mengajari kita sedikit tentang psikologi lalu cara membaca
bahasa tubuh seseorang yang cukup seru untuk disimak. Ya, mungkin psikologi
merupakan bumbu yang bisa membuat serial detektif menjadi lebih gurih.
“Kukira tergantung setting-nya, Kawan. …
Ceritanya harus tentang dia dan ditulis untuk dia. Bagiku dia tipe wanita yang
hanya menaruh perhatian pada dirinya sendiri.” (hal. 15)
“Psikologi karakter itu menarik,” katanya
lagi, tak peduli. (hal. 17)
“Orang yang berminat pada kriminalitas
pasti juga tertarik pada psikologi. Bagi para ahli, bukan tindakan membunuhnya
yang menarik, tapi latar belakangnya. Kau paham, Hastings?” (hal. 17)
Meskipun aku tak tergila-gila pada
“psikologi” seperti Poirot, penjelasan Lady Edgware tentang suaminya telah
membangkitkan rasa ingin tahuku. (hal. 48)
Kelihatan sekali dia amat cemas, duduknya
condong ke depan dan kedua tangannya saling meremas dengan gugup. (hal. 262)
Hal yang
mungkin menarik, terutama bagiku, adalah tentang makhluk mitos yang disisipi ke
dalam cerita dan deskripsi tentang seorang lelaki yang amat tampan. Setidaknya
hal tersebut kutemukan di dua serial Poirot yang telah kubaca ini. Mungkin jika
kalian membaca review-ku sebelumnya (Hallowe’en Party), di sana Agatha
menyisipkan nama Peri Laut dan Peri Hutan. Lalu ada tokoh bernama Michael
Garfield yang fisiknya seperti hasil karya pemahat klasik. Sementara di serial ini, ada nama Dewa
Hermes dan Dewa Apollo yang merupakan gambaran fisik dari salah seorang pelayan
Lord Edgware.
Pintu segera terbuka menyambut kami. Yang
membuka bukan kepala pelayan yang sudah tua dan berambut putih – seperti layaknya
jika melihat bagian luar rumah ini – tapi seorang pemuda yang sangat tampan.
Dia begitu jangkung dan pirang, sehingga dapat berpose untuk pemahat yang ingin
memahat patung Dewa Hermes atau Dewa Apollo. (hal. 48)
Secara keseluruhan, ini buku yang menarik. Walaupun aku bisa menebak dengan tepat siapa pembunuhnya
dan bagaimana, namun tidak dengan perihal alasan dia membunuh Lord Edgware
tersebut. Ya, mungkin kalian juga bisa menebaknya. Dan mungkin pula Agatha
telah tahu bahwa kita (pembaca) bisa menebak bahkan ketika di pertengahan
cerita. Mungkin karenanya Agatha lalu menyisipkan lima pertanyaan yang mampir
ke benak Poirot yang membantunya menyingkap alasan atau motif dibalik
pembunuhan ini. Lima pertanyaan tersebut membantu membuat kisah di serial ini
lebih rumit dan menarik.
Dan hal
yang lebih menariknya lagi, aku malah suka dengan karakter si Pembunuhnya.
Maksudku karakternya unik dan ketika membaca bagian terakhir buku ini, saat si
Pembunuh mendapat vonis mati, aku tersenyum. Bukan karena dia memang pantas
akan hukuman tersebut, namun lebih karena melihatnya menyikapi hukuman mati
tersebut. Haha, gak terbayang jika memang ada orang seperti itu. Miris
namun menarik dan unik.
Selebihnya,
aku suka packaging-nya. Tidak seperti
serial yang kubaca sebelumnya (Hallowe’en Party) dimana ukuran dan ketebalan
font huruf yang digunakan, serta kertasnya, yang malah mengingatkanku dengan
buku bajakan alias buku kopian. Packaging
yang ini lebih rapi dan ekslusif. Entahlah apa memang benar yang kemarin itu
bajakan, tapi kan….
Haha, yup,
masih ada dua judul serial detektif karangan Agatha yang kupunya. Satu berjudul
“N or M ?” (seperti yang kusebutkan di atas) dan satunya lagi “Sleeping Murder”
yang katanya kisah Miss Marple yang terakhir. Well, I love her stories. What about
you, guys?
Rating: (3/5) liked it
Comments
Post a Comment